DPR Hanya Puncak Gunung Es


Ronald Rofiandri: Insiden Email Komisi VIII DPR Hanya Puncak Gunung Es
<a href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?n=a59ecd1b&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://openx.detik.com/delivery/avw.php?zoneid=24&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a59ecd1b' border='0' alt='' /></a>

Jakarta - Anggota Dewan kerap menjadi sorotan publik. Dari tingkah mereka saat rapat, hingga saat mereka melakukan studi banding ke negara lain. Pun ketika ada insiden email Komisi VIII DPR saat studi banding ke Australia. Insiden ini hanyalah puncak gunung es.

"Ini hanya insiden kecil saja. Ini seperti gunung es yang hanya nampak puncaknya saja. Soal seriusnya adalah soal tata kelola, ada nggak sih manual mengelola aspirasi yang diperoleh dari masyarakat dan bagaimana DPR mempublikasikannya lagi," ujar Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Ronald, Jumat (6/5/2011):

DPR menuai kritikan terkait studi banding. Menurut Anda ini lebih karena biaya besar atau tidak sesuainya tempat tujuan?

Saya coba merujuk ke tata tertib. Pasal 143 Peraturan DPR No 1/2009 tentang Tata Tertib, ada kewajiban setiap alat kelengkapan seperti komisi atau pansus yang akan melakukan studi banding harus mengajukan term of reference (TOR) kepada pimpinan DPR. Nah dari pimpinan akan mempertimbangkan 3 hal, soal urgensi, relevansi dan keterkaitan dengan negara tujuan.

Dari aturan ini, pilihan negara akan dipertimbangkan. Kalau kita temukan fakta, negara tujuan studi banding mungkin ada yang cocok dan tidak, dan tergantung analisis pimpinan DPR terhadap TOR. Apakah analisisnya dangkal? Kalau iya, ketahuan nanti negara tujuannya nggak nyambung. Atau kalau analisisnya mendalam dan tepat, tujuan studi banding tepat pula. Yang dianalisia TOR-nya.

Jadi terkait TOR ini, alat kelengkapan DPR yang mengajukan TOR terkait kelayakan studi banding. Sedangkan biaya tidak ikut dipertimbangkan pimpinan. Karena kegiatan di 2011, anggarannya kan disetujui 2010. Jadi anggaran sudah ada.

Melihat studi banding yang dilakukan dan dikritik selama ini, tidak melalui analisis yang mendalam?

Selama ini dipersoalkan pelaksanaan studi banding, bukan hanya kalkulasi angka saja yang perlu dipastikan lagi tapi mari kita lihat praktik perencanaan. Dalam kegiatan, pasti ada perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Sampai hari ini, jangankan DPR yang sekarang, yang periode lalu juga bermasalah.

Yang disayangkan, lebih dari satu tahun ini, DPR tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Ada sih yang studi bandingnay sesuai dan mendukung. Misalnya saja saat proses RUU Akuntan Publik. Seingat kita, ada publikasi terkait rencana studi banding. Lalu kita lihat apakah studi banding itu malah memperlambat, ternyata tidak. Ternyata tepat waktu dan tuntas.

Namun ada yang tidak menyampaikan ke media dan menghabiskan durasi RUU yang ada di tata tertib. Tapi yang efektif sedikit ketimbang yang bermasalah. Saya bisa katakan RUU Bantuan HUkum dan RUU Kepramukaan tidak sesuai alur legislasi. Kegiatan ini dilaksanakan saat pembahasan dan bahkan ada yang saat pembahasan sudah mau selesai. Hasilnya dilihat, ternyata studi banding tidak terlalu berpengaruh dengan materi UU-nya.

Lalu soal pertanggungjawabannya, tidak semua disampaikan hasilnya ke publik baik melalui media atau disampaikan di website DPR. Kelengkapan DPR yang melakukan studi banding pertama adalah Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) yang melakukan pada sekitar Februari atau Maret 2010. Nah itu publikasinya belum ada di website DPR. Mungkin ini yang kemudian ditiru oleh kelengkapan lainnya. Kalaupun ada yang bisa mengakses hasilnya, itu melalui proses bersengketa atau ketika diminta oleh ICW baru ada.

Apa yang harus dievaluasi dari studi banding ini?

Kalaupun ke depan ada rencana memangkas anggaran sampai 50 persen atau kemudian, populernya moratorium, harus dipastikan pelaksanaannya seperti apa. Kalau hanya menahan dan menggeser jadwal, tidak berarti apa-apa. Kalau hanya bermain di tingkat angka dan tidak melihat akarnya juga tidak akan menjadi penyelesaian.

Mari kita kaitkan studi banding dengna alur legislasi. Mencari pembanding dilakukan seharusnya dilakukan saat penyusunan naskah akademik dan penyusunan langkah awal RUU, bukan saat pembhasan atau di akhir pembahasan. Ini memang terpengaruh pola penganggaran. Sudah menjadi rahasia umum juga kalau studi banding begitu masif karena anggaran tersedia atau mereka punya mindset perlu studi banding untuk tiap RUU. Kalau sudah jadi mindset, memang harus pelan-pelan mengubahnya.

Selama ini bagaimana pelaksanaan studi banding?

Trennya seperti itu, dilakukan di tengah pembahasan. Untuk RUU, kan ada yang siapkan DPR dan ada pula yang disiapkan pemerintah. Biasanya yang disiapkan pemerintah itu sudah ada kajian dan kadang sudah dilakukan studi banding, ternyata studi banding dilakukan juga oleh DPR.

Ini misalnya terjadi di RUU Bantuan Hukum. Memang inisiatif dari DPR, tapi pemerintah sudah menyiapkan naskah RUU, banyak kajian telah dilakukan Kemenkum HAM. Bahkan Kemenkum HAM sudah studi banding ke Afsel. Artinya info pembanding sudah ada. Tapi karena Dewan merasa harus ada studi banding, maka dilakukan lagi. Padahal data pembanding bisa dibaca dari yang dilakukan Kemenkum HAM.

Studi banding ini bukanlah hal yang dilarang. Apa saja yang harus diperhatikan?

TOR itu sendiri sudah cukup menjawab standar minimal soal urgensi, juga relevansi dengan apa yang sedang dipersiapkan. Disebutkan di TOR, negara yang dijadikan tujuan, tapi juga ada hal yang tidak boleh diabaikan. Ini terkait klasifikasi data dan informasi yang diperoleh. Mungkin ada data yang bisa diperoleh di website dan literatur atau dari kedubes. Ini di tahap perencanaannya.

Di tahap pelaksanaan, banyak desain aktivitas yang bisa dilakukan, di mana tidak mengharuskan anggota Dewan harus berangkat ke negara lain. Jadi untuk menghimpun data bisa memanfaatkan tenaga ahli atau video conference. Kan sekarang ada skype, bisa menggunakan itu. Bisa pula mengundang narsum yang dianggap pakar untuk hadir di DPR. Ini pernah dipraktikkan di Kementerian Keuangan dan Bappenas. Meskipun mengunjungi negara dilakukan juga kalau dirasa perlu. Tapi yang penting kan efisiensinya.

Lalu kalau misalnya anggota DPR harus berangkat ke negara lain, harus jelas dalam situasi apa. Jelas pula dalam situasi apa yang berangkat staf ahlinya saja. Kalau hanya untuk mencari data, staf ahli saja cukup. Beda untuk pertemuan konferensi atau kunjungan balasan dari parlemen yang lain.

Lalu di pertanggungjawaban, ini penting agar masyarakat diyakinkan apa yang telah dilakukan dalam menghabiskan dana sekian miliar rupiah. Harus diyakinkan tidak ada penyimpangan. Selain itu, publikasi sebagai wujud pertanggungjawaban, bisa mengundang inisiatif dari perguruan tinggi atau pakar penelitian untuk melengkapi. Tidak ada ruginya untuk transparan dan akuntabel, malah mengundang inisiatif masyarakat untuk memperkuatnya.